Taman Sekolah

Caramelareiina
4 min readSep 2, 2023

--

Ilustrasi (pinterest)

Suasana kelas tampak tenang sebelum akhirnya berubah menjadi riuh karena bel istirahat berbunyi. Setelah guru keluar kelas, anak-anak mulai berhamburan.

Semua tampak normal seperti biasanya. Jevan sempat melirik ke arah Jessie sebelum akhirnya ia keluar kelas bersamaan dengan yang lainnya.

Jessie membereskan alat tulisnya dan memasukan satu per satu ke dalam tempat pensil bermotif kelinci miliknya.

"Gue butuh isi ulang energi, otak gue rasanya mau meledak." kata Jessie.

Matematika adalah mata pelajaran yang sebelumnya mereka pelajari, ditambah Jessie yang kurang tidur, membuat gadis itu kelelahan.

"Elo mau ke kantin ?" tanya Nayla.

"Iya, beli es teh seger, nih." kata Jessie.

"Yaudah, kalo udah selesai langsung ke ruang teater ya, ada pertemuan tuh." kata Nayla mengingatkan.

Jessie hanya mengacungkan jari jempolnya dan bergegas menuju kantin.

Suasana kantin juga tampak ramai seperti biasanya. Jessie berjalan ke arah stand yang menjual teh poci.

"Kak, teh pocinya satu ya, yang original." kata Jessie. Ia mengeluarkan selembar uang dari saku roknya.

Tak perlu waktu lama teh poci original pun jadi. Jessie segera membayarnya.

"Makasih ya, Kak." kata Jessie.

Ia langsung meminum teh poci yang tampak begitu segar. "Ah... enaknya. Berasa hidup kembali." katanya sambil tersenyum puas.

Setelah membeli segelas es teh, Jessie langsung pergi ke ruang teater untuk pertemuan ekstrakulikuler yang baru saja ia ikuti.

15 menit berlalu, pertemuan selesai. Jessie hendak pergi menuju kelasnya, tapi ia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Sesekali ia berhenti dan berpikir, apa ada yang tertinggal di ruang teater ?

"Kayaknya gak ada, deh. Hape ada di kantong. Tapi, kayak ada yang kelupaan. Apa, ya ?" kata Jessie. Ia terus mencoba berpikir.

Matanya membelalak besar, dan tangannya mencoba menutupi mulutnya yang juga ikut terbuka lebar.

"Jevan, anjrit! Gue lupa." kata Jessie.

Ia berlari menuruni anak tangga untuk menuju taman belakang. Rambutnya yang tergerai beterbangan mengikuti gerakan Jessie yang sat set bak Ninja Hatori.

Sampai di taman, Jessie melihat Jevan yang tengah duduk sendiri membelakanginya.

"Oke, tenang Jess... atur nafas dulu." kata Jessie. Sambil mengatur nafas, ia merapihkan sedikit rambutnya yang berantakan. Kemudian berjalan menuju Jevan.

"Van ?" kata Jessie sedikit canggung.

"Gue kira elo gak dateng." kata Jevan seraya berdiri.

"Sori ya, gue telat. Elo udah dari tadi di sini ?" tanya Jessie yang sebenarnya hanya basa basi.

Jevan mengangguk pelan. "Iya, ada kali 20 menitan gue di sini." katanya sambil mengisyaratkan Jessie untuk duduk.

Jessie duduk di bangku panjang yang ada di sana.

"Sekali lagi gue minta maaf. Gue kelupaan, habis dari ruang teater ada pertemuan."

"It's okey, gue kira elo emang gak mau dateng." kata Jevan dengan santai.

"Enggak gitu, Van. Ini buktinya gue dateng."

"Iya, gue tau elo pasti dateng."

Ada jeda sesaat setelah itu. Keduanya tampak malu-malu kucing.

"Jess."

"Ya ?"

"Gue punya 2 tiket bioskop. Elo mau gak nonton bareng gue ?" kata Jevan menyodorkan 2 tiket bioskop yang entah kapan ia beli.

Hari yang cerah dengan angin bertiup ringan di bawah pohon yang rindang, menambah suasana di pagi menjelang siang itu.

"Kalo elo ambil tiket ini gue anggep elo mau jadi pacar gue. Kalo enggak berarti sebaliknya." kata Jevan.

Belum pernah Jevan merasa setegang ini untuk menembak gadis yang ia sukai. Sebelumnya terasa lancar jaya sebab gadis-gadis itu yang mengejarnya terlebih dulu.

Jevan menelan salivahnya.

"Emm... kalo boleh tau judul filemnya apa ya ?" tanya Jessie.

Bukan kalimat itu yang ingin Jevan dengar. Fokusnya buyar, ia kembali melihat judul filem yang ia pesan di tiket.

"Mencuri Raden Saleh." kata Jevan kembali menyodorkan tiket tersebut.

'Duh, gue udah nonton lagi bareng Nayla. Gak apa-apa, deh, nonton lagi bareng Jevan. Astaga, elo lagi mikir apa Jess ? Ini Jevan lagi nembak elo! Fokus.' batinnya.

'Kok, lama banget jawabnya ? Apa gue salah milih filem ? Apa dia gak mau jadi pacar gue ? Sial, Tangan gue pegel.' batin Jevan.

"Iya, gue mau jadi pacar elo." jawab Jessie sambil mengambil tiket bioskop dari tangan Jevan.

Sebuah senyum mengembang dari dua ujung bibir Jevan. "Berarti sekarang kita resmi jadian, ya ?" tanya Jevan.

Jessie hanya mengangguk dengan malu. Pipinya tampak memerah merona dengan senyum tipis dari bibirnya.

Begitu juga dengan Jevan, pria itu tampak bahagia seperti habis menang lotre.

"Cieelah, Jevan... " kata seseorang dari balik semak.

"Ehem! pajak jadian bisa kali." kata seorang lagi di sana.

"Suitt... suitt... " katanya menirukam suara peluit.

Jevan yang sangat mengenal suara tersebut membalikan badannya ke arah suara.

"Anjirr... sejak kapan lo pada di situ ?!" kata Jevan pada Angga, Hacel dan Clif yang sedari tadi menguping dari semak.

Jessie yang melihat ke tiga sahabat Jevan berdiri memperhatikan mereka juga ikut malu. Pipinya tambah memerah seperti udang rebus.

"Gue ke kelas dulu, Van." kata Jessie langsung berjalan meninggalkan Jevan bersama 3 makhluk astral yang masih berdiri di balik semak.

"Eh, iya Jess." kata Jevan.

"Asu, elo pada nguping dari tadi ?"

Ketiga sahabatnya itu hanya bisa mengangguk sambil tersenyum penuh arti pada Jevan.

"Asik! Makan-makan lagi kita." kata Angga.

--

--

Caramelareiina

Penulis kecil dengan segudang imajinasi yang belum sempat di rangkai.